Aspirasi dari Jambi: Komisi X Serap Suara Guru untuk Revisi UU Sisdiknas

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, saat memimpin kunjungan kerja ke Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Jambi, Kamis (8/5/2025). Foto: eko/vel
PARLEMENTARIA, Jambi — Suasana di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Jambi siang itu terasa hangat. Bukan hanya karena teriknya matahari, tetapi juga karena antusiasme para guru, kepala sekolah, dan pemangku kepentingan pendidikan yang berkumpul untuk menyuarakan harapan mereka kepada tim Komisi X DPR RI yang datang berkunjung.
Dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, kunjungan kerja ini bukan sekadar formalitas. Ada yang istimewa: mereka datang khusus untuk menghimpun masukan dalam rangka revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), sebuah regulasi besar yang akan memengaruhi jutaan guru, siswa, dan keluarga di seluruh Indonesia.
"Mulai dari masalah perlindungan guru, rehabilitasi sekolah yang belum merata, jam mengajar, sampai isu seleksi masuk perguruan tinggi (SPMB). Semua akan kami bawa sebagai bekal untuk memperkaya naskah akademik dan rancangan undang-undang revisi UU Sisdiknas," sebut Lalu saat pertemuan, Kamis (8/5/2025).
Ia berbicara dengan nada serius ketika menyinggung masalah kesejahteraan guru. Betapa tidak, data terbaru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, masih ada sekitar 1,6 juta guru honorer di Indonesia, sebagian besar menerima gaji jauh di bawah standar, bahkan tak jarang hanya Rp250.000 per bulan. “Ini catatan besar kami. Jangan sampai guru-guru kita yang menjadi pahlawan tanpa tanda jasa justru tidak sejahtera,” tegasnya.
Yang menarik, Komisi X tidak hanya turun ke Jambi. “Rekan-rekan kami ada juga yang saat ini berada di Kalimantan Timur, di Yogyakarta. Semua untuk menyerap hal yang sama,” jelas Lalu. Targetnya jelas: memastikan revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 ini bisa menyesuaikan diri dengan zaman, menjawab tantangan digitalisasi pendidikan, perkembangan teknologi, dan kebutuhan nyata di lapangan.
Di sisi lain, Gubernur Jambi Al Haris memberikan dukungan penuh atas upaya revisi ini. “Harapan kita bersama, undang-undang ini semakin hari semakin baik kualitasnya,” kata Al Haris. “Kami berharap undang-undang ini berpihak kepada guru karena mereka adalah pelaku utama di lapangan dan menjadi kunci kemajuan pendidikan.”
Suara dari Lapangan: Kisah Guru Honorer
Di sela pertemuan, sosok Sulastri, seorang guru honorer dari Kabupaten Muaro Jambi, mencuri perhatian. Perempuan 34 tahun itu rela menempuh perjalanan lebih dari 70 kilometer demi bisa hadir dan menyuarakan aspirasinya langsung kepada para wakil rakyat.
“Sejak 2015 saya mengajar di SD di daerah pelosok. Gaji saya kadang hanya Rp300.000 per bulan. Pernah terlambat cair sampai tiga bulan,” ungkap Sulastri dengan mata berkaca-kaca. Meski begitu, semangatnya untuk mengajar anak-anak di desa tidak pernah padam. “Saya hanya ingin anak-anak di tempat saya bisa pintar, bisa punya masa depan. Tapi kami juga ingin diperhatikan. Kalau guru tidak sejahtera, bagaimana bisa maksimal mendidik?”
Cerita Sulastri bukan satu-satunya. Banyak guru honorer di Jambi yang menghadapi masalah serupa: honor minim, status kerja yang tidak jelas, dan minimnya kesempatan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.
“Bayangkan, Ibu Sulastri harus mengajar empat mata pelajaran sekaligus karena kekurangan guru. Belum lagi kalau ada yang sakit, beliau yang menggantikan,” ujar Ketua BPMP Jambi, menambahkan bahwa situasi ini terjadi di banyak sekolah di pelosok provinsi.
Menata Masa Depan Pendidikan
Tak bisa dimungkiri, revisi UU Sisdiknas adalah pekerjaan besar. Selain isu kesejahteraan guru, Komisi X juga harus menjawab ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pelosok, memperkuat sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta memastikan anak-anak Indonesia tak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Sebagai informasi, UU Sisdiknas terakhir kali disahkan pada 2003, atau lebih dari dua dekade lalu. Di tengah kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan tantangan global, banyak pihak menilai pembaruan undang-undang ini sudah sangat mendesak.
Hari itu di Jambi, percakapan soal pendidikan bukan sekadar wacana. Ada harapan nyata yang disampaikan, ada suara-suara dari ruang kelas di pelosok desa hingga kota. Tinggal bagaimana suara-suara itu akan diterjemahkan menjadi pasal-pasal undang-undang yang berpihak pada kualitas pendidikan nasional. (ssb/aha)